Berawal dari kegelisahan umat Islam mengenai masa depan bangsa indonesia yang terungkap dalam kongres umat islam waktu itu, maka kongres merekomendasikan untuk mendirikan sebuah sekolah yang kemudian diberi nama Sekolah Tinggi Islam (STI). Oleh karena itu pada tanggal 8 Juli 1945 didirikanlah STI. Dalam sejarahnya kemudian pada tanggal 14 Desember 1947 berganti nama menjadi Universitas Islam Indonesia (UII). Beberapa sosok pendirinya adalah beliau Muh. Hatta, Kahar Mudzakir, Hasyim Asy’ari, Soekarno, M. Natsir, dkk(lihat dalam buku-buku sejarah tentang UII).
UII berdiri sebagai pemersatu umat, selanjutnya pada tahun 1946 untuk mendukung hal itu para mahasiswa mendirikan senat mahasiswa dengan ketua I sebagai penanggungjawab di jabat saudara Djanamar Adjam, ketua II (bidang kkemasyarakatan dan agama) di jabat oleh saudara Amin Syahri, ketua III (bidang kemahasiswaan) di jabat oleh saudara Lafran Pane (lihat dalam buku Sejarah dan Dinamika UII hal.38).
Saat itu banyak mahasiswa islam yang tidak paham dengan islam dan malah malu mengakui sebagai orang islam. Ini terjadi karena ulah penjajah yang mendoktrinkan/ melekatkan islam dengan ke-kolot-an dan kebodohan. Lafran pane, sebagai orang yang diserahi urusan tentang mahasiswa melihat hal ini salah dan sangat bertentangan dengan apa yang selama ini diajarkan di UII, bahwa islam adalah agama yang sempurna dan agama yang benar, maka dia bersama 20 mahasiswa STI lainnya dalam salah satu ruang perkuliahan di jl. Styodiningratan pada tanggal 5 Februari 1947 mendirikan sebuah organisasi yang diberi nama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Sebelumnya Lafran Pane sudah menyampaikan keinginannya untuk mendirikan HMI pada KH. A. Kahar Muzakir (rektor UII saat itu) dan hal itu sangat di dukung oleh beliau karena mendukung misi UII. Bahkan beliau memberikan bantuan finansial setiap bulannya Rp.25,- untuk keberlangsungan hidup organisasi ini (lihat buku 5 Windu UII hlm. 318-322).
Selain alasan diatas, ketika diwawancarai, Lafran Pane menegaskan bahwa keputusan yang tergesa-gesa untuk mendirikan organisasi tersebut disebabkan oleh kebutuhan mendesak bagi para cendekiawan muslim muda untuk ikut serta dalam perjuangan kemerdekaan nasional. Ini bagi dirinya sendiri berarti tugas untuk melestarikan dan mengamankan ajaran-ajaran islam (lihat buku disertasi Victor tanja tentang HMI hlm.53).
Sesuai dengan harapan dan tujuan didirikannya UII, HMI tidak pernah mengidentifikasikan dirinya dengan organisasi politik/ masyarakat/ sosial apapun karena HMI sejak awal sudah mengambil sikap sebagai organisasi yang independen (lihat Khittah Perjuangn HMI tentang tafsir independensi). Namun begitu, sejarah mencatat bahwa HMI pernah dianggap sebagai senjata politik dari Masyumi. Padahal sesungguhnya itu tidaklah benar. Lihat para alumni dan kader HMI ketika itu, mereka tumbuh dan berkembang menjadi karakternya sendiri dengan penuh kesadaran dan tanggungjawabnya masing-masing(lihat buku disertasi Victor Tanja tentang HMI hlm. 54).
Independensi HMI sebagai sebuah organisasi sudah terbukti dan teruji. Contohnya pada tahun 1965 HMI menyatakan sikap perlawanannya terhadap Partai Komunis Indonesia, lalu sikap HMI pada periode akhir 1960 atau ketika era kepemimpinan Nurcholis Majid. Waktu itu HMI dengan tegas menyatakan sikapnya untuk tidak mendukung berdirinya kembali Masyumi sebagai sebuah organisasi politik formal (lihat buku Api Islam ). Tahun 80-an masih sangat segar ingatan kita dengan sejarah asas tunggal yang diterapkan oleh pemerintahan orde baru saat itu. HMI organisasi yang berani mengatakan dengan tegas dan konsisten untuk tetap menggunakan islam sebagai asas dengan segala resiko dan konsekwensinya. Salahsatu konsekwensi itu akhirnya HMI terpecah menjadi dua yaitu HMI-Majelis Penyelamat Organisasi/ sering disingkat MPO dengan asas islamnya; HMI Dipo dengan asas pancasilanya. Menurut salahsatu pelaku sejarah saat itu, kanda Suparman Marzuki (calon komisioner Komisi Yudisial), dari UII lagi gerakan untuk mendirikan HMI-MPO sebagai upaya penyelamatan asas dan perlawanan terhadap rezim otoriter saat itu dikonsolidasikan.
Betapa urgen posisi kedudukan HMI di UII, sehingga Prof. Mahfud M.D dan Alm. Prof. Dahlan Thaib menuliskan satu bab khusus tentang kelahiran HMI dalam buku 5 Windu UII. Bahkan Alm. Prof Dahlan Thaib sering kali berkata,”HMI adalah UII, dan UII adalah HMI”. Begitu besarnya peran mahasiswa di UII hingga muncul spekulasi bahwa UII besar karena mahasiswanya dan bukan seperti di universitas lain yang justeru mahasiswa dibesarkan oleh universitasnya(lihat buku 5 Windu UII hlm. 318)
Jadi tidaklah berlebihan (tanpa bermaksud menafikkan keberadaan oraganisasi lain) jika saudara Nugroho selaku ketua Dewan perwakilan mahasiswa(DPM) Fakultas Hukum UII dan saudara Reza Vahlevi selaku ketua Lembaga eksekutif mahasiswa(LEM) Fakultas Hukum UII sempat menyinggung tentang keberadaan HMI, begitu juga Bpk. Dr. Rusli Muhammad selaku dekan FH UII saat mengisi stadium general MATAHARI juga membicarakan tentang harapannya terhadap HMI. Bukan semata-mata untuk kepentingan pragmatis golongan, tapi sebagai pengingat dan motivasi bagi seluruh keluarga besar UII tentang pentingnya perjuangan dan perkaderan, terlebih untuk mahasiswa baru yang hanya tahu “besar”nya UII tanpa tahu tentang sejarah perjuangan dan perkaderannya agar tidak terjebak pada budaya pragmatis, hedon dan juga supaya kita semua tidak menjadi a historis.
1 komentar: on "MAHASISWA SEBAGAI RUH UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA"
Saya bangga dan salut melihat kalian tetap Konsisten berjuang di HMI, tulisan inpun sbagai krya dr suatu refleksi pemikiran2 yg pernah tertuang dalam beberapa buku yg teman2 baca, namun sngt sedikit PROGREIFITAS tmen2 (tanpa menafikan hasil yg telah tmen2 capai) dalam memberikan sumbangsih baik Pemikiran ataupun Pergerakan di bangsa ini, mengapa saya katakan Demikian? karena Romantisisme SEJARAH yg sering kali tmen2 lakukan, adakah karya rekan2 dalam jalan Panjang PERJUANGAN Bangsa Indonesia untuk saat ini? saya tunggu PROGRESIFITAS Kawan2
Posting Komentar