29 November 2010

ASA TERHADAP EKSISTENSI HUKUM SEBAGAI ‘PANGLIMA’ DI INDONESIA

oleh :Agus Fadilla Sandi

Pada hakikatnya hukum dibuat untuk dilaksanakan, bukan untuk dilanggar. Tujuan mulia hukum yang berupa keadilan sudah seharusnya mendapatkan tempat tertinggi sebagai ‘panglima’ di negeri ini. Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan konstitusi negara yang memuat aturan hukum dasar dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dengan demikian dapat diyakini bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum.
Sejak Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disahkan, maka segala sesuatu harus berjalan sesuai dengan amanat dan ruh konstitusi tersebut. Bunyi pasal-pasal yang ditorehkan di dalam konstitusi sebenarnya sudah cukup ideal, namun seringkali itu hanya dalam angan-angan. Tentunya pernyataan demikian bukan sekedar omong-kosong belaka, melainkan realita di lapangan yang tanpa ‘malu’ telah berhasil mencemarkan nama baik dari hukum itu sendiri. Berapa banyak kasus-kasus hukum kaum minoritas yang diselesaikan dengan cara tak beradab, sedangakan para ‘tikus-tikus kantor’ dengan bebas berjalan gagah di depan umum. Jerit tangis masyarakat yang digusur tak dihiraukan demi suatu aturan, namun bisikan para mafia hukum selalu didengarkan hanya demi kepentingan golongan. Mungkin saat ini hukum hanya sebagai ‘hiasan’ di negeri ini. Akankah ia kelak menjadi hal yang nyata? Hidup di tengah-tengah kita, semua warga Indonesia? Kapan? 
Kenyataan akan buruknya proses penegakan hukum saat ini merupakan indikasi ketidak berhasilan negara dalam menempatkan hukum sebagai ‘panglima’nya. Oleh karena itu, maka salah satu jalan yang harus ditempuh oleh negara ialah perbaikan terhadap proses penegakan hukum itu sendiri. Dalam rangka mendukung upaya penegakan hukum yang baik tentunya dibutuhkan berbagai faktor dan/atau hal-hal yang secara jelas dapat mempengaruhi upaya penegakan hukum tersebut. Dari sekian banyak faktor yang ada, setidaknya ada dua dari padanya yang sangat berpengaruh, yakni pembuat hukum dan penegak hukum.
Di Indonesia, pembuat hukum adalah tugas dari badan legislatif. Adapun penegak hukum adalah tugas dari badan yudikatif. Selama ini, badan legislatif sebagai badan yang bertugas sebagai pembuat hukum cenderung diwarnai dan dipengaruhi oleh berbagai kepentingan politik partai-partai tertentu, tergantung partai apa yang mendominasi dan/atau partai apa yang menjadi ‘kendaraan’ politiknya menuju badan legislatif tersebut. Hal ini yang kemudian menjadi salah satu titik lemah dari suatu luaran (output) aturan hukum yang dibuat.
Penegakan hukum yang bertujuan mulia untuk menegakkan keadilan terkadang sering ‘terciderai’ dari awal adanya aturan hukum itu sendiri. Badan legislatif yang diduduki oleh para politikus cenderung hanya membuat aturan hukum yang sesuai dengan kepentingannya sendiri tanpa melihat kebutuhan masyarakat luas. Walaupun ada beberapa aturan hukum yang dikeluarkan atas desakan masyarakat, namun dalam proses pembuatannya kerap sekali dimasuki oleh unsur-unsur lain yang sebenarnya tidak mewakili apa yang diharapkan dari masyarakat tersebut.
Selain dari pada itu, salah satu faktor pendukung upaya penegakan hukum adalah penegak hukum yang dalam konteks Indonesia merupakan tanggung jawab dari badan yudikatif. Badan yudikatif di Indonesia terdiri dari majelis kehakiman, yakni MA beserta peradilan dibawahnya dan MK. Kesemuanya memiliki peran dan fungsi masing-masing dalam proses penegakan hukum, walaupun dengan kadar yang berbeda-beda.
Badan yudikatif sebagai penegak hukum seharusnya memiliki paradigma yang sama terhadap arti pentingnya eksistensi dari suatu hukum. Realita saat ini menunjukkan bahwa badan yudikatif di Indonesia cenderung memiliki perbedaan paradigma dalam menafsirkan dan menegakkan suatu aturan hukum. Perbedaan mendasar saat ini yang sangat terlihat adalah antara semangat untuk menegakkan keadilan prosedural dan semangat untuk menegakkan keadilan substantif. Perbedaan ini seharusnya tidak dijadikan sebagai masalah atau kendala bagi badan yudikatif untuk terus memperjuangkan penegakan hukum. Namun realita tetap saja bertolak belakang dengan harapan yang pada akhirnya cendrung men‘ciderai’ keadilan sebagai tujuan mulia dari hukum itu sendiri.
Berbicara tentang kedua perbedaan di atas, maka hal kemudian yang muncul adalah antara keadilan dan kepastian hukum. Kedua hal ini sebenarnya sama sekali tidak konfrontatif, mengingat keadilan adalah tujuan dan kepastian hukum adalah bagian sebagai dasar dari upaya penegakan hukum. Hal yang seharusnya diwujudkan ialah bagaimana badan yudikatif dapat mewujudkan keadilan yang berkepastian hukum.
Demikianlah refleksi atas suatu asa terhadap eksistensi hukum sebagai ‘panglima’ di negeri ini. Ketercapaian dalam mewujudkannya adalah bukti bahwa hukum bukan sekedar utopia. Sehingga untuk mencapai niatan mulia tersebut, maka proses penegakan hukum sudah seharusnya diperbaiki, baik pada proses pembuatan hukumnya maupun proses penerapannya. Pembuat dan penegak hukum selayaknya selaras dalam berpikir dan berbuat. Badan legislatif sebagai pembuat hukum sudah seharusnya tidak hanya mewakili kepentingan partai politiknya, tapi juga masyarakat luas dalam membuat suatu aturan hukum, mengingat aturan hukum yang diberlakuan juga mengikat bagi seluruh masyarakat. Begitupun badan yudikatif sebagai aparat penegakan hukum untuk tidak mempersempit ruh dan semangat konstitusi sebagai dasar hukum negara yang bertujuan mulia untuk mencapai dan mewujudkan keadilan. Luaskan pemikiran dan capai keadilan. Semoga hukum dapat menjadi nyata, saat ini.
read more...

MAHASISWA SEBAGAI RUH UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

HMI MENJAWAB

Berawal dari kegelisahan umat Islam mengenai masa depan bangsa indonesia yang terungkap dalam kongres umat islam waktu itu, maka kongres merekomendasikan untuk mendirikan sebuah sekolah yang kemudian diberi nama Sekolah Tinggi Islam (STI). Oleh karena itu pada tanggal 8 Juli 1945 didirikanlah STI. Dalam sejarahnya kemudian pada tanggal 14 Desember 1947 berganti nama menjadi Universitas Islam Indonesia (UII). Beberapa sosok pendirinya adalah beliau Muh. Hatta, Kahar Mudzakir, Hasyim Asy’ari, Soekarno, M. Natsir, dkk(lihat dalam buku-buku sejarah tentang UII).
UII berdiri sebagai pemersatu umat, selanjutnya pada tahun 1946 untuk mendukung hal itu para mahasiswa mendirikan senat mahasiswa dengan ketua I sebagai penanggungjawab di jabat saudara Djanamar Adjam, ketua II (bidang kkemasyarakatan dan agama) di jabat oleh saudara Amin Syahri, ketua III (bidang kemahasiswaan) di jabat oleh saudara Lafran Pane (lihat dalam buku Sejarah dan Dinamika UII hal.38).
Saat itu banyak mahasiswa islam yang tidak paham dengan islam dan malah malu mengakui sebagai orang islam. Ini terjadi karena ulah penjajah yang mendoktrinkan/ melekatkan islam dengan ke-kolot-an dan kebodohan. Lafran pane, sebagai orang yang diserahi urusan tentang mahasiswa melihat hal ini salah dan sangat bertentangan dengan apa yang selama ini diajarkan di UII, bahwa islam adalah agama yang sempurna dan agama yang benar, maka dia bersama 20 mahasiswa STI lainnya dalam salah satu ruang perkuliahan di jl. Styodiningratan pada tanggal 5 Februari 1947 mendirikan sebuah organisasi yang diberi nama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Sebelumnya Lafran Pane sudah menyampaikan keinginannya untuk mendirikan HMI pada KH. A. Kahar Muzakir (rektor UII saat itu) dan hal itu sangat di dukung oleh beliau karena mendukung misi UII. Bahkan beliau memberikan bantuan finansial setiap bulannya Rp.25,- untuk keberlangsungan hidup organisasi ini (lihat buku 5 Windu UII hlm. 318-322).
Selain alasan diatas, ketika diwawancarai, Lafran Pane menegaskan bahwa keputusan yang tergesa-gesa untuk mendirikan organisasi tersebut disebabkan oleh kebutuhan mendesak bagi para cendekiawan muslim muda untuk ikut serta dalam perjuangan kemerdekaan nasional. Ini bagi dirinya sendiri berarti tugas untuk melestarikan dan mengamankan ajaran-ajaran islam (lihat buku disertasi Victor tanja tentang HMI hlm.53).
Sesuai dengan harapan dan tujuan didirikannya UII, HMI tidak pernah mengidentifikasikan dirinya dengan organisasi politik/ masyarakat/ sosial apapun karena HMI sejak awal sudah mengambil sikap sebagai organisasi yang independen (lihat Khittah Perjuangn HMI tentang tafsir independensi). Namun begitu, sejarah mencatat bahwa HMI pernah dianggap sebagai senjata politik dari Masyumi. Padahal sesungguhnya itu tidaklah benar. Lihat para alumni dan kader HMI ketika itu, mereka tumbuh dan berkembang menjadi karakternya sendiri dengan penuh kesadaran dan tanggungjawabnya masing-masing(lihat buku disertasi Victor Tanja tentang HMI hlm. 54).
Independensi HMI sebagai sebuah organisasi sudah terbukti dan teruji. Contohnya pada tahun 1965 HMI menyatakan sikap perlawanannya terhadap Partai Komunis Indonesia, lalu sikap HMI pada periode akhir 1960 atau ketika era kepemimpinan Nurcholis Majid. Waktu itu HMI dengan tegas menyatakan sikapnya untuk tidak mendukung berdirinya kembali Masyumi sebagai sebuah organisasi politik formal (lihat buku Api Islam ). Tahun 80-an masih sangat segar ingatan kita dengan sejarah asas tunggal yang diterapkan oleh pemerintahan orde baru saat itu. HMI organisasi yang berani mengatakan dengan tegas dan konsisten untuk tetap menggunakan islam sebagai asas dengan segala resiko dan konsekwensinya. Salahsatu konsekwensi itu akhirnya HMI terpecah menjadi dua yaitu HMI-Majelis Penyelamat Organisasi/ sering disingkat MPO dengan asas islamnya; HMI Dipo dengan asas pancasilanya. Menurut salahsatu pelaku sejarah saat itu, kanda Suparman Marzuki (calon komisioner Komisi Yudisial), dari UII lagi gerakan untuk mendirikan HMI-MPO sebagai upaya penyelamatan asas dan perlawanan terhadap rezim otoriter saat itu dikonsolidasikan.
Betapa urgen posisi kedudukan HMI di UII, sehingga Prof. Mahfud M.D dan Alm. Prof. Dahlan Thaib menuliskan satu bab khusus tentang kelahiran HMI dalam buku 5 Windu UII. Bahkan Alm. Prof Dahlan Thaib sering kali berkata,”HMI adalah UII, dan UII adalah HMI”. Begitu besarnya peran mahasiswa di UII hingga muncul spekulasi bahwa UII besar karena mahasiswanya dan bukan seperti di universitas lain yang justeru mahasiswa dibesarkan oleh universitasnya(lihat buku 5 Windu UII hlm. 318)
Jadi tidaklah berlebihan (tanpa bermaksud menafikkan keberadaan oraganisasi lain) jika saudara Nugroho selaku ketua Dewan perwakilan mahasiswa(DPM) Fakultas Hukum UII dan saudara Reza Vahlevi selaku ketua Lembaga eksekutif mahasiswa(LEM) Fakultas Hukum UII sempat menyinggung tentang keberadaan HMI, begitu juga Bpk. Dr. Rusli Muhammad selaku dekan FH UII saat mengisi stadium general MATAHARI juga membicarakan tentang harapannya terhadap HMI. Bukan semata-mata untuk kepentingan pragmatis golongan, tapi sebagai pengingat dan motivasi bagi seluruh keluarga besar UII tentang pentingnya perjuangan dan perkaderan, terlebih untuk mahasiswa baru yang hanya tahu “besar”nya UII tanpa tahu tentang sejarah perjuangan dan perkaderannya agar tidak terjebak pada budaya pragmatis, hedon dan juga supaya kita semua tidak menjadi a historis.
read more...

28 November 2010

IP vs Organisasi

oleh: Rio R.E.

Orang tua mengirim kita jauh-jauh dari rumah, rela bekerja membanting tulang kesana kemari semata-semata supaya kita anak-anaknya bisa kuliah dan menjadi kebanggaan  mereka. Tetapi juga patut kita sadari, bahwa ga semudah itu ngejalanin amanah yang orang tua berikan. Hidup bekas tanpa kekangan orang tua, siapa ya yang ga pengen? Iya gak.. Tapi sepertinya kita akan sepakat jika itu dikembalikan pada pribadi masing-masing. Toh setiap orang punya tips dan trik sendiri untuk menghadapi semua tuntutan akademis dengan tugas utama belajar , Lulus tepat waktu, dan IP yang tinggi. Amien...
Beda dengan tujuan akademis yang pasti dimiliki oleh semua mahasiswa, kecakapan dan ketrampilan hidup (pendidikan non akademis) sering kali terlupa. Pendidikan non akademis menyangkut bagaimana cara kita bertutur kata juga berkaitan dengan seberapa luas jejaring yang kita punya. Itu semua menjadi sangat penting ketika kita harus terjun ke masyarakat, mencari kerja atau mengurus banyak hal yang berhadapan langsung dengan publik. Kita gak bisa hanya mengandalkan Ilmunya guyton,sheerword dan sebagainya. Kita juga gak jamin kalo kita bisa punya jejaring yang luas hanya dengan mengandalkan cara bergaul kita sekarang. Kayaknya hal itu sempit banget,padahal dunia itu luas banget. Kita gak dapet ketrampilan itu hanya dari bangku kuliah. Banyak penelitian yang ngebuktiin bahwa IP adalah urutan ke-17 dari 20 hal yang menentukan kesuksesan seseorang (bukan berarti kita ga harus mikirin ip lho). Karena IP tetep penting,inget kan tuntutan orang tua yang awal dah kita omongin.Penentu kesuksesan terbesar adalah dari kecakapan dan ketrampilan hidup yang bisa kita dapet dari organisasi. Bukan bikin surat dan proposalnya, bukan so eksisnya tapi semua masalah yang ada di organisasi dan nuntut kita untuk berfikir ekstra yang membuat kita besar. Kita dituntut untuk bisa membagi waktu, dianjurkan untuk berpikir diluar pemikiran kita yang luar biasa dan kita dibasakan untuk menghadapi orang banyak dari berbagi kalangan.Inilah yang sebenarnya bisa dijadikan batu loncatan bagi kita semua.
IP dan Organisasi gak selamanya bertolak belakang, yakin deh. Malah orang yang berorganisasi dan tetep gak melalaikan kewajibanya di dunia akademik termasuk orang hebat yang bisa mengembangkan kemampuan otak kanan dan otak kiri mereka.Kalo ga percaya liat deh di sekeliling kalian, banyak koq orang-orang besar besar didunia akademik dengan background organisasi. Maka jadi akademisi yang berorganisasi sama sekali gak nyeremi kawan. Jangan jadi mahasiswa standar yang gak punya ketrampilan dan kemampuan apa-apa. Organisasi Cuma satu dari banyak pilihan. Intinya adalah bagaimana kita bisa mengembangkan diri dan melebarkan sayap dengan leluasa lalu terbanglah melihat dunia dan mencapai semua mimpi-mimpi kita. Kebanggaan orang tua menanti kita di depan sana. Yakin Usaha Sampai!
read more...