Pada hakikatnya hukum dibuat untuk dilaksanakan, bukan untuk dilanggar. Tujuan mulia hukum yang berupa keadilan sudah seharusnya mendapatkan tempat tertinggi sebagai ‘panglima’ di negeri ini. Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan konstitusi negara yang memuat aturan hukum dasar dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dengan demikian dapat diyakini bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum.
Sejak Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disahkan, maka segala sesuatu harus berjalan sesuai dengan amanat dan ruh konstitusi tersebut. Bunyi pasal-pasal yang ditorehkan di dalam konstitusi sebenarnya sudah cukup ideal, namun seringkali itu hanya dalam angan-angan. Tentunya pernyataan demikian bukan sekedar omong-kosong belaka, melainkan realita di lapangan yang tanpa ‘malu’ telah berhasil mencemarkan nama baik dari hukum itu sendiri. Berapa banyak kasus-kasus hukum kaum minoritas yang diselesaikan dengan cara tak beradab, sedangakan para ‘tikus-tikus kantor’ dengan bebas berjalan gagah di depan umum. Jerit tangis masyarakat yang digusur tak dihiraukan demi suatu aturan, namun bisikan para mafia hukum selalu didengarkan hanya demi kepentingan golongan. Mungkin saat ini hukum hanya sebagai ‘hiasan’ di negeri ini. Akankah ia kelak menjadi hal yang nyata? Hidup di tengah-tengah kita, semua warga Indonesia? Kapan?
Kenyataan akan buruknya proses penegakan hukum saat ini merupakan indikasi ketidak berhasilan negara dalam menempatkan hukum sebagai ‘panglima’nya. Oleh karena itu, maka salah satu jalan yang harus ditempuh oleh negara ialah perbaikan terhadap proses penegakan hukum itu sendiri. Dalam rangka mendukung upaya penegakan hukum yang baik tentunya dibutuhkan berbagai faktor dan/atau hal-hal yang secara jelas dapat mempengaruhi upaya penegakan hukum tersebut. Dari sekian banyak faktor yang ada, setidaknya ada dua dari padanya yang sangat berpengaruh, yakni pembuat hukum dan penegak hukum.
Di Indonesia, pembuat hukum adalah tugas dari badan legislatif. Adapun penegak hukum adalah tugas dari badan yudikatif. Selama ini, badan legislatif sebagai badan yang bertugas sebagai pembuat hukum cenderung diwarnai dan dipengaruhi oleh berbagai kepentingan politik partai-partai tertentu, tergantung partai apa yang mendominasi dan/atau partai apa yang menjadi ‘kendaraan’ politiknya menuju badan legislatif tersebut. Hal ini yang kemudian menjadi salah satu titik lemah dari suatu luaran (output) aturan hukum yang dibuat.
Penegakan hukum yang bertujuan mulia untuk menegakkan keadilan terkadang sering ‘terciderai’ dari awal adanya aturan hukum itu sendiri. Badan legislatif yang diduduki oleh para politikus cenderung hanya membuat aturan hukum yang sesuai dengan kepentingannya sendiri tanpa melihat kebutuhan masyarakat luas. Walaupun ada beberapa aturan hukum yang dikeluarkan atas desakan masyarakat, namun dalam proses pembuatannya kerap sekali dimasuki oleh unsur-unsur lain yang sebenarnya tidak mewakili apa yang diharapkan dari masyarakat tersebut.
Selain dari pada itu, salah satu faktor pendukung upaya penegakan hukum adalah penegak hukum yang dalam konteks Indonesia merupakan tanggung jawab dari badan yudikatif. Badan yudikatif di Indonesia terdiri dari majelis kehakiman, yakni MA beserta peradilan dibawahnya dan MK. Kesemuanya memiliki peran dan fungsi masing-masing dalam proses penegakan hukum, walaupun dengan kadar yang berbeda-beda.
Badan yudikatif sebagai penegak hukum seharusnya memiliki paradigma yang sama terhadap arti pentingnya eksistensi dari suatu hukum. Realita saat ini menunjukkan bahwa badan yudikatif di Indonesia cenderung memiliki perbedaan paradigma dalam menafsirkan dan menegakkan suatu aturan hukum. Perbedaan mendasar saat ini yang sangat terlihat adalah antara semangat untuk menegakkan keadilan prosedural dan semangat untuk menegakkan keadilan substantif. Perbedaan ini seharusnya tidak dijadikan sebagai masalah atau kendala bagi badan yudikatif untuk terus memperjuangkan penegakan hukum. Namun realita tetap saja bertolak belakang dengan harapan yang pada akhirnya cendrung men‘ciderai’ keadilan sebagai tujuan mulia dari hukum itu sendiri.
Berbicara tentang kedua perbedaan di atas, maka hal kemudian yang muncul adalah antara keadilan dan kepastian hukum. Kedua hal ini sebenarnya sama sekali tidak konfrontatif, mengingat keadilan adalah tujuan dan kepastian hukum adalah bagian sebagai dasar dari upaya penegakan hukum. Hal yang seharusnya diwujudkan ialah bagaimana badan yudikatif dapat mewujudkan keadilan yang berkepastian hukum.
Demikianlah refleksi atas suatu asa terhadap eksistensi hukum sebagai ‘panglima’ di negeri ini. Ketercapaian dalam mewujudkannya adalah bukti bahwa hukum bukan sekedar utopia. Sehingga untuk mencapai niatan mulia tersebut, maka proses penegakan hukum sudah seharusnya diperbaiki, baik pada proses pembuatan hukumnya maupun proses penerapannya. Pembuat dan penegak hukum selayaknya selaras dalam berpikir dan berbuat. Badan legislatif sebagai pembuat hukum sudah seharusnya tidak hanya mewakili kepentingan partai politiknya, tapi juga masyarakat luas dalam membuat suatu aturan hukum, mengingat aturan hukum yang diberlakuan juga mengikat bagi seluruh masyarakat. Begitupun badan yudikatif sebagai aparat penegakan hukum untuk tidak mempersempit ruh dan semangat konstitusi sebagai dasar hukum negara yang bertujuan mulia untuk mencapai dan mewujudkan keadilan. Luaskan pemikiran dan capai keadilan. Semoga hukum dapat menjadi nyata, saat ini.