09 Juni 2010

KETIDAKPERCAYAAN MASYARAKAT TERHADAP HUKUM



Oleh:ZUHAD AJI FIRMANTORO

A. Pendahuluan
Sampai detik ini belum ada seorangpun yang bisa mendefinisikan hukum secara pasti. Hanya semua orang bersepakat bahwa keberadaan hukum adalah untuk menjamin keteraturan dan ketertiban masyarakat agar diperoleh keadilan dan kesejahteraan. Sedangkan apa itu keadilan, sampai sekarang juga masih belum ada definisi yang pasti. Namun begitu banyak ahli yang sudah mencoba untuk memberikan penjelasannya dengan berbagai metodenya masing-masing.
Antara satu individu dengan yang lain dalam suatu masyarakat akan saling mengikatkan diri dan ikatan itu dibuat sendiri, namun jika ikatan itu dirasa sudah tidak lagi cocok maka dia akan berusaha untuk melepaskan diri dari ikatan tersebut (Biarkan hukum mengalir). Hal ini muncul sebagai konsekwensi ketika manusia menjadi makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri tanpa orang lain. Ikatan itulah yang kita sebut hukum, sebagai upaya mewujudkan ketertiban dan keteraturan dalam proses interaksi sesama manusia.
Dimana ada interaksi antar manusia disitulah ada hukum yang mengaturnya (ubi societas ibi ius). Setiap masyarakat memiliki sifatnya masing-masing yang akan dapat kita lihat dari hukum yang tumbuh dan hdup dalam suatu masyarakat. Hukum yang berkembang dalam suatu masyarakat dapat menunjukkan bagaimana karakter dari individu-individu yang ada didalamnya, karena hukum dan perilaku manusia tidak bisa dipisahkan.
Perilaku manusia yang buas akan memunculkan hukum yang sangat keras, sedang perilaku manusia yang elegan akan memunculkan hukum yang lunak. Hukum menjadi seperti itu karena hakekatnya keberadaan hukum adalah untuk manusia dan bukan malah sebaliknya dimana manusia ada untuk hukum. Karena itulah maka hukum akan selalu bergerak mengalir mengikuti dinamika kehidupan manusia itu sendiri.
Sepanjang sejarah umat manusia meninggalkan jejak hukum yang oleh Prof. Satjipto rahardjo dikatakan dengan membangun hukum, mematuhi hukum, dan merobohkan hukum. Kendati hukum dibuat sendiri oleh manusia namun dalam perjalanannya tidak mudah untuk mengimplementasikannya. Dengan adanya hukum tidak serta merta kemudian hidup dapat berjalan dengan mulus, namun penuh dengan gejolak dan dinamika yang tak pernah berhenti. I Gede A.B Wiranata mengatakan,”hukum itu berjalan tertatih-tatih mengikuti kenyataan (het recht think achter de feitenaan).” Artinya bahwa hukum dipandang selalu tertinggal dengan apa yang coba diatur olehnya.
Kehidupan membutuhkan kaidah sosial dan di zaman sekarang, hukum menjadi primadonanya. Melalui alat-alat yang diciptakannya, manusia memproduksi hukum. Tetapi anehnya hukum itu terkadang dirasa sangat membelenggu dan manusia ingin meloloskan diri dari belenggu itu. Salahkah manusia yang ingin meloloskan diri dari “belenggu” hukum? meloloskan bukan dalam arti tidak patuh terhadap hukum. Kepatuhan terhadap hukum adalah satu hal, dan pelolosan atau pembebasan diri dari hukum adalah masalah yang berbeda. Hukum tidak selalu benar, dia tidak bisa memonopoli kebenaran sehingga “pembebasan diri” tadi harus didengar sebagai koreksi terhadap hukum. Disinilah terjadi pergulatan hukum secara terus-menerus antara membuat hukum (rule making) dan mematahkannya (rule breaking).
B. Pembahasan
Dalam konstitusi kita sudah jelas dikatakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Pernyataan itu secara singkat dapat memancing pemikiran yang sedikit nakal, yang mengatakan bahwa Indonesia bukan “negara keadilan”. Hal ini saya katakan melihat realita yang terjadi di sekitar kita saat ini. Bagaimana dengan gampangnya seorang nenek yang “mencuri” 3 buah kakao dihukum seberat orang yang korupsi jutaan rupiah misalkan. Lalu bagaimana di daerah probolinggo, seorang pencuri yang sudah berada dalam tahanan polisi dibunuh oleh warga, dan masih banyak lagi berbagai kasus lain yang menunjukkan kesewenang-wenangan penafsiran keadilan.
Hukum adalah bagian usaha untuk meraih keadilan dalam masyarakat, tetapi dia tidak sama persis dengan keadilan. Keadilan mencakup hukum namun hukum bukan satu-satunya cara menciptakan keadilan. Seandainya konstitusi kita menuliskan negara Indonesia adalah negara yang berdasar keadilan tentu akan berbeda keadaan yang terjadi sekarang ini. Wajarlah sekarang masyarakat indonesia merasa kecewa terhadap hukum yang sedang berjalan karena hukum kebanyakan hanya dijadikan sebagai alat legalitas untuk membenarkan sebuah tindakan.
Gustav Radbruch berpendapat, bahwa hukum itu bertumpu pada tiga nilai dasar, yaitu kepastian, keadilan dan kemanfaatan (biarkan hukum mengalir). Secara teori memang bagus sekali tapi dalam penerapannya, antar ketiganya sering mengalami konflik dan bahkan jarang bisa berjalan secara harmonis. Berangkat dari pendapat Radbruch tadi dapat kita lihat bahwa hukum tidaklah seindah seperti yang dikatakan –terutama-oleh para legalis. Ketika kepastian, keadilan, dan kemanfaatan hukum saling berbenturan maka kita dipaksa untuk memilih mana yang harus kita menangkan. Konflik itulah yang kira-kira juga terjadi dalam kasus-kasus diatas.
Ketika hukum selesai dibuat maka saat itu juga hukum sudah tertinggal dengan keadaan masyarakat yang sesungguhnya. Karena kehidupan itu tidak pernah berhenti, selalu saja mengalir dengan berbagi macam dinamikanya. Jika kita pakai sudut pandang itu maka akan tampaklah ketidakteraturan dalam hukum itu sendiri.
Hal itu dibenarkan oleh Charles Sampford dengan pernyataannya dalam bukunya Prof. Satjipto Rahardjo “hukum itu penuh dengan ketidakteraturan. Dia mengkritik keras para ahli hukum yang menyatakan bahwa hukum itu penuh dengan keteraturan dan kepastian. Sampford mengatakan bahwa itu hanya pernyataan yang dimunculkan untuk kepentingan profesi mereka saja, sebab bagaimana mereka dapat bekerja dengan tenang kalau hukum yang mereka gunakan itu penuh dengan ketidakpastian. Sampford melihat bahwa kepastian hukum lebih pada keyakinan yang dipaksakan daripada keadaan yang sebenarnya.”
Seorang intelektual cina yang telah bermukim lama di Amerika mengingatkan bahwa hukum memiliki tujuan yang “besar”. Karena itu kita harus berhati-hati dalam melaksanakan sistem hukum. Apabila tujuan yang besar itu tidak disadari, maka hukum akan menjadi kering dan masyarakat bisa menjadi “sakit” dan tidak bahagia.
Dari pandangan-pandangan besar diatas maka dapat kita lihat keadaan indonesia sekarang. Hukum hanya dijadikan sebagai alat untuk membenarkan setiap keputusan yang diambil oleh penguasa. Misalkan ketika undang-undang Badan Hukum Pendidikan dibatalkan oleh Mahkamah konstitusi, dengan sigapnya lalu presiden kita mencoba mengeluarkan perpu.
Hukum di Indonesia adalah produk politik, karena itu seharusnya hukum kita dapat lebih progresif, mengingat kepentingan semua pihak dapat dengan cepat tersampaikan. Dengan demikian harapannya kebahagiaan masyarakat bisa diwujudkan. Namun ternyata kepentingan yang terakomodir selama ini hanya kepentingan segelintir golongan saja, sehingga banyak rakyat yang tidak merasa diuntungkan dengan adanya hukum yang tercipta.
Ketika masyarakat tidak lagi merasakan manfaat dari hukum maka hukum secara otomatis akan kehilangan kewibawaannya.Masyarakat tidak lagi melihat hukum sebagai kebutuhan dan akhirnya hukum akan ditinggalkan atau setidak-tidaknya masyarakat akan mencari hukum baru yang sesuai dengan keadaannya.
Semua itu tidak dapat kita salahkan begitu saja pada masyarakat yang mencoba melepaskan diri dari hukum yang “membelenggunya”. Jika hukum kita sudah sesuai dengan kebutuhan dan keadaan masyarakat, tidak akan terjadi kasus bibit-candra, kasus mbah minah, kasus munir, dan masih banyak lagi lainnya yang mungkin tidak sempat terlihat oleh kita karena begitu banyaknya kasus seperti itu. Karena itu pula maka kita akan mewajarkan ketika masyarakat tidak lagi percaya terhadap hukum yang ada sekarang.
Hal-hal itulah yang membuat hukum kita akan sulit untuk ditegakkan. Jangankan tegak dengan kesadaran sendiri, dipaksakan sekalipun akan sulit. 12 tahun sudah reformasi berjalan, tetap saja belum mampu untuk mengembalikan atau memperbaiki kepercayaan masyarakat terhadap hukum.
C. Kesimpulan
Hukum kita saat ini belum mampu menjawab kebutuhan masyarakat yang setiap harinya terus mengalami perkembangan. Karena itu sekarang harus dimulai evaluasi bersama untuk selanjutnya kita tindaklanjuti dengan jiwa besar sehingga akan lahir sistem hukum baru yang bisa memberi kebahagiaan pada masyarakat indonesia. Dengan kebahagiaan itulah maka kesadaran hukum dalam masyarakat akan tercipta karena masyarakat merasa butuh.
Bukan hanya sistem yang harus dibenahi. Tetapi para penegaknya juga perlu dibenahi agar semuanya dapat berjalan dengan sinergis antara penegak hukum dengan hukum yang akan ditegakkan. Dengan demikian masyarakat tidak akan merasa hidup dalam keterkekangan, namun hidup dalam kedamaian yang akhirnya menciptakan kesejahteraan. Untuk itu perlu pembenahan besar-besaran oleh semua pihak, dan momentum reformasi adalah saat yang tepat untuk melakukan itu.
read more...